Rabu, 09 Desember 2009

Rasyid Ridha

SYEKH MUHAMMAD RASYID RIDHA
Sosok intelektual satu ini bernama lengkap
Muhammad Rasyid ridha bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin Al-Qolamuny.
Beliau lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari kota Tripoli, Libanon)
Pada tanggal 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.
Muhammad rasyid Ridho dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhotmat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridho masih memiliki pertalian darah dengan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW, dan oleh karenanya nama beliau memakai istilah “Sayyid” (istilah khas keturunan Nabi SAW).
Semasa kecilnya, Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Al-Qur’an, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Ridha kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun (1882), Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah dikota Tripoli . Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Asy-Syekh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi ole hide-ide medernisme. Disini, Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab (ilmu tata bahasa Arab seperti Nahwu, Sharaf) secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa Perancis dan Turki.
Namun, Ridha tidak dapat lama belajar disekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan studinya, Rasyid Ridha pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada diTripoli . Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah terus berlanjut. Guru inilah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Ridha dikemudian hari.
Diantara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati anak pribumi, padahal tidak disajikan pelajaran agama didalamnya.
Selaian menekuni pelajarannya di Madrasah Al-Wataniyyah, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-‘Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama mereka dipengasingan, Paris). Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam diri Ridha dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir tahun 1882, Ridha berkesempatan untuk berjumpa dan berdialog serta sharing ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.
Di Libanon, Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan yang diperolehnya, namun upayanya ini mendapat tantangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Utsmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan. Akibat semakin besarnya tantanga itu, akhirnya pada tahun 1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Abduh yang telah lama tinggal disana. Dikota ini Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh.
Disamping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pikiran brilian mereka. Muncullah majalah yang kemudian begitu terkenal, yaitu majalah Al-manar (berarti : menara/petunjuk), sebuah nama majalah yang diusulkan Ridha dan disetujui Abduh.
Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa, yaitu antara lain : (1) menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi (2) memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang (3) membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dan perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan.
Setelah penerbitan itu berjalan, dan proses transformasi pikiran-pikiran pembaharuan keislaman yang bersifat umum terus berlanjut, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Ridha sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Al-Qur’an dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.
Awalnya gagasan muridnya ini tidak segera ditanggapi secara serius, namun Rasyid Ridha terus mendesak hingga pada tahun 1899 Muhammad Abduh menyetujui ide penafsiran tersebut. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide brilian yang muncul dalam kuliah yang diberikan gurunya. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepadasang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Abduh ini hanya sampai pada surat An-Nisa’ ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT. Pada tahun 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Al-Qur’an. Maka untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsirsang guru hingga selesai.
Selain dalam hal pemikiran modern, pada dasarnya arah pembaharuan pemikiran Ridha tidak jauh berbeda dengan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha juga seorang pengikut sebuah tarekat, yaitu tarekat Naqsabandiah. Berdasarkan pengalaman tarekat ini, Ridha berpendapat bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadah dan pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif, dan ini jelas merugikan umat Islam.
Dalam hal pendidikan, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan agama dan umum, dan sebagai bentuk kepeduliannya, Ridha mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912 yang memiliki tujuan untuk menandingi sekolah-sekolah misionaris Kristen. Sekolah itu bernama Madrasah Ad-Da’wah wa Al-Irsyad. Para lulusan hasil gemblengan sekolah dakwah ini dikirimkannya ke Negara-negara Islam yang membutuhkan. Namun pada saat terjadi Perang Dunia I, sekolah ini terpaksa dihentikan kegiatannya.
Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha antara lain dalam bidang agama, bidang pendidikan dan politik. Dibidang agama, Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Ridha menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mereka tidak begitu terikat dengan pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup yang lebih maju dan modern.
Rasyid Ridha membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Adapun masalah yang pertama menurut Ridha, telah tertuang dalam teks Al-Qur’an secara qat’i (pasti) dan hadits mutawatir (yang jelas riwayatnya hingga Nabi SAW). Ini merupakan ketentuan terperinci dan absolute yang harus dilaksanakan, tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Rasyid Ridha menyoroti paham Fatalisme (semua diserahkan kepada Allah SWT, tanpa usaha) yang banyak menyelimuti umat Islam. Beliau berpendapat bahwa ajaran Islam mengandung paham Dinamika, bukan Fatalisme, dan paham inilah yang membuat kalangan Barat maju. Ridha menjelaskan lebih jauh bahwa paham dinamika dalam Islam mengambil bentuk kongrit, yaitu jihad yang memiliki pengertian kerja keras dan rela berkorban demi mencapai keridhaan Allah SWT. Etos kerja inilah yang mengantarkan umat Islam kepada kejayaan pada masa lalu. Hal lain yang menjadi perhatian adalah masalah toleransi bermadzhab, sebab ia melihat fanatisme madzhab begitu kuat dan ini mengakibatkan perpecahan dan kekacauan.
Dibidang pendidikan, Rasyid Ridha dangat perhatian terhadap dunia pendidikan dan menurutnya, umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, Ridha banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Beliau berhasil mendirikan sekolah di Kairo yang mengajarkan ilmu agama, seperti Al-Qur’an, tafsir, akhlaq, hikmah al-tasyri’ (hikmah penetapan syari’at), bahasa Eropa dan ilmu kesehatan. Melihat kesuksesan Ridha para pemuka Islam India mengundang Ridha untuk mendirikan lembaga pendidikan di India.
Dalam bidang politik (Fiqh Siyasi), Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), sebab Ridha banyak melihat penyebab kemunduran Islam antara lain karena perpecahan yang terjadi dikalangan mereka sendiri. Untuk itu, Rasyid Ridha menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa’ ar-Rasyidin (empat khalifah besar setelah Nabi SAW). Ridha menganjurkan pembentukkan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) dibawah naungan khalifah.
Khalifah ideal menurut Ridha adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi. Lebih lanjut Ridha menyebutkan dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan ahl al-halli wa al-‘aqdi yang anggotanya terdiri dari para ulama dan pemuka masyarakat. Tugas ahl al-halli wa al-‘aqdi selain mengawasi roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat dzalim dan sewenang-wenang.
Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Ridha, seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati. Dibawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ridha pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Rasyid Ridha juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
Karya-karya yang dihasilkan dalam pergulatan hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak, mulai dari melanjutkan Tafsir Al-Manar, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh, Nida’ Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Al-Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (ke Khalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan diberbagai wilayah. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya.
Nama besarnya terus dikenang hingga beliau menghadap ke haribaan Allah SWT, pada bulan Agustus 1935 M, bertepatan dengan tahun 1356 H.
Semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari perjalanan panjang tokoh pembaharu ini dan mengambil berbagai ide brilian yang dikumandangkannya hingga kita dapat merealisasikannya dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar