Rabu, 09 Desember 2009

Rasyid Ridha

SYEKH MUHAMMAD RASYID RIDHA
Sosok intelektual satu ini bernama lengkap
Muhammad Rasyid ridha bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin Al-Qolamuny.
Beliau lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari kota Tripoli, Libanon)
Pada tanggal 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.
Muhammad rasyid Ridho dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhotmat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridho masih memiliki pertalian darah dengan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW, dan oleh karenanya nama beliau memakai istilah “Sayyid” (istilah khas keturunan Nabi SAW).
Semasa kecilnya, Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Al-Qur’an, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Ridha kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun (1882), Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah dikota Tripoli . Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Asy-Syekh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi ole hide-ide medernisme. Disini, Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab (ilmu tata bahasa Arab seperti Nahwu, Sharaf) secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa Perancis dan Turki.
Namun, Ridha tidak dapat lama belajar disekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan studinya, Rasyid Ridha pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada diTripoli . Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah terus berlanjut. Guru inilah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Ridha dikemudian hari.
Diantara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati anak pribumi, padahal tidak disajikan pelajaran agama didalamnya.
Selaian menekuni pelajarannya di Madrasah Al-Wataniyyah, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-‘Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama mereka dipengasingan, Paris). Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam diri Ridha dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir tahun 1882, Ridha berkesempatan untuk berjumpa dan berdialog serta sharing ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.
Di Libanon, Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan yang diperolehnya, namun upayanya ini mendapat tantangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Utsmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan. Akibat semakin besarnya tantanga itu, akhirnya pada tahun 1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Abduh yang telah lama tinggal disana. Dikota ini Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh.
Disamping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pikiran brilian mereka. Muncullah majalah yang kemudian begitu terkenal, yaitu majalah Al-manar (berarti : menara/petunjuk), sebuah nama majalah yang diusulkan Ridha dan disetujui Abduh.
Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa, yaitu antara lain : (1) menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi (2) memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang (3) membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dan perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan.
Setelah penerbitan itu berjalan, dan proses transformasi pikiran-pikiran pembaharuan keislaman yang bersifat umum terus berlanjut, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Ridha sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Al-Qur’an dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.
Awalnya gagasan muridnya ini tidak segera ditanggapi secara serius, namun Rasyid Ridha terus mendesak hingga pada tahun 1899 Muhammad Abduh menyetujui ide penafsiran tersebut. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide brilian yang muncul dalam kuliah yang diberikan gurunya. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepadasang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Abduh ini hanya sampai pada surat An-Nisa’ ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT. Pada tahun 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Al-Qur’an. Maka untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsirsang guru hingga selesai.
Selain dalam hal pemikiran modern, pada dasarnya arah pembaharuan pemikiran Ridha tidak jauh berbeda dengan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha juga seorang pengikut sebuah tarekat, yaitu tarekat Naqsabandiah. Berdasarkan pengalaman tarekat ini, Ridha berpendapat bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadah dan pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif, dan ini jelas merugikan umat Islam.
Dalam hal pendidikan, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan agama dan umum, dan sebagai bentuk kepeduliannya, Ridha mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912 yang memiliki tujuan untuk menandingi sekolah-sekolah misionaris Kristen. Sekolah itu bernama Madrasah Ad-Da’wah wa Al-Irsyad. Para lulusan hasil gemblengan sekolah dakwah ini dikirimkannya ke Negara-negara Islam yang membutuhkan. Namun pada saat terjadi Perang Dunia I, sekolah ini terpaksa dihentikan kegiatannya.
Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha antara lain dalam bidang agama, bidang pendidikan dan politik. Dibidang agama, Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Ridha menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mereka tidak begitu terikat dengan pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup yang lebih maju dan modern.
Rasyid Ridha membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Adapun masalah yang pertama menurut Ridha, telah tertuang dalam teks Al-Qur’an secara qat’i (pasti) dan hadits mutawatir (yang jelas riwayatnya hingga Nabi SAW). Ini merupakan ketentuan terperinci dan absolute yang harus dilaksanakan, tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Rasyid Ridha menyoroti paham Fatalisme (semua diserahkan kepada Allah SWT, tanpa usaha) yang banyak menyelimuti umat Islam. Beliau berpendapat bahwa ajaran Islam mengandung paham Dinamika, bukan Fatalisme, dan paham inilah yang membuat kalangan Barat maju. Ridha menjelaskan lebih jauh bahwa paham dinamika dalam Islam mengambil bentuk kongrit, yaitu jihad yang memiliki pengertian kerja keras dan rela berkorban demi mencapai keridhaan Allah SWT. Etos kerja inilah yang mengantarkan umat Islam kepada kejayaan pada masa lalu. Hal lain yang menjadi perhatian adalah masalah toleransi bermadzhab, sebab ia melihat fanatisme madzhab begitu kuat dan ini mengakibatkan perpecahan dan kekacauan.
Dibidang pendidikan, Rasyid Ridha dangat perhatian terhadap dunia pendidikan dan menurutnya, umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, Ridha banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Beliau berhasil mendirikan sekolah di Kairo yang mengajarkan ilmu agama, seperti Al-Qur’an, tafsir, akhlaq, hikmah al-tasyri’ (hikmah penetapan syari’at), bahasa Eropa dan ilmu kesehatan. Melihat kesuksesan Ridha para pemuka Islam India mengundang Ridha untuk mendirikan lembaga pendidikan di India.
Dalam bidang politik (Fiqh Siyasi), Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), sebab Ridha banyak melihat penyebab kemunduran Islam antara lain karena perpecahan yang terjadi dikalangan mereka sendiri. Untuk itu, Rasyid Ridha menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa’ ar-Rasyidin (empat khalifah besar setelah Nabi SAW). Ridha menganjurkan pembentukkan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) dibawah naungan khalifah.
Khalifah ideal menurut Ridha adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi. Lebih lanjut Ridha menyebutkan dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan ahl al-halli wa al-‘aqdi yang anggotanya terdiri dari para ulama dan pemuka masyarakat. Tugas ahl al-halli wa al-‘aqdi selain mengawasi roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat dzalim dan sewenang-wenang.
Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Ridha, seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati. Dibawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ridha pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Rasyid Ridha juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
Karya-karya yang dihasilkan dalam pergulatan hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak, mulai dari melanjutkan Tafsir Al-Manar, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh, Nida’ Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Al-Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (ke Khalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan diberbagai wilayah. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya.
Nama besarnya terus dikenang hingga beliau menghadap ke haribaan Allah SWT, pada bulan Agustus 1935 M, bertepatan dengan tahun 1356 H.
Semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari perjalanan panjang tokoh pembaharu ini dan mengambil berbagai ide brilian yang dikumandangkannya hingga kita dapat merealisasikannya dalam kehidupan.

Pembelajaran bahasa arab

Pembelajaran Bahasa Arab

Menyoal Problematika Pengajaran Bahasa Arab
Oleh : DR. H. Sofyan Sauri, M.Pd (Dosen UPI)

Kenyataan yang kita hadapi bahwa sesungguhnya kondisi pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah/sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan. Kendala atau tantangan tersebut paling tidak dapat terlihat dalam beberapa hal berikut :
Pertama, dari segi edukatif. Pengajaran bahasa arab masih relatif kurang ditopang oleh faktor-faktor pendidikan yang memadai. Yang dimaksud faktor-faktor disini diantarnya faktor kurikulum (termasuk di dalamnya orientasi dan tujuan, materi dan metodologi pengajaran serta sistem evaluasi), tenaga edukatif, sarana dan prasarana.
Kedua, dari segi sosial budaya pada umumnya peta pengajaran bahasa Arab berada dalam lingkungan sosial yang kurang kondusif kecuali di lingkungan pendidikan seperti Pondok Modern Gontor, LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan lain-lain. Kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini masyarakat kita dihadapkan pada “Pertunjukan Budaya Barat” dengan segala macam pengaruhnya melalui media elektronik semacam RCTI, SCTV dan lain-lain. Dalam hal ini patut dicatat bahwa “cultural show” berbahasa Inggris yang disajikan dalam bentuk film-film dan acara lainnya, sedikit banyak mempengaruhi iklim pengajaran bahasa Arab. Kemudian fenomena umum ummat Islam kita cenderung sudah merasa puas kalau sudah pandai membaca al-Quran, walaupun tidak mengerti artinya, padahal untuk bisa paham Al Qur’an tidak hanya cukup bisa membaca, melainkan tahu artinya dan bahasa arab merupakan entry point untuk itu.
Ketiga, faktor linguistik bahasa Arab itu sendiri, selama ini nampaknya masyarakat kita termasuk para siswa di madrasah cenderung mempunyai kesan bahwa mempelajari bahasa Arab itu jauh lebih sulit daripada mempelajari bahasa asing lainnya, kemudian jika mereka mempelajari bahasa Arab banyak dimotivasi oleh kepentingan yang bersiat religius ideologis daripada kepentingan praktis pragmatis. Peranan bahasa arab juga masih dikatakan marginal, masyarakat pada umumnya tidak merasa perlu mempelajari bahasa Arab sebagaimana halnya mempelajari bahasa Inggris atau bahasa lainya, Keempat, dari segi politik dan diplomasi luar negeri. Dapat dilihat bahwa selama ini kita belum banyak memanfaatkan peluang dengan negara-negara yang berbahasa Arab, dalam bentuk kerjasama di bidang-bidang yang cukup strategis, seperti ekonomi dan pendidikan. Selama ini nampaknya bahasa Arab baru didayagunakan dalam rangka pengiriman TKI ke negara-negara Teluk, tapi itu pun belum maksimal. Padahal dengan poitik dan diplomasi yang menyeluruh kita akan bisa membuka peluang-peluang baru yang lebih menguntungkan untuk pendayagunaan bahasa Arab dalam bidang, yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi semangat kita dalam mempelajari bahasa Arab.
Seiring dengan dinamika dan kemajuan abad informasi dan globalisasi dewasa ini, nampaknya sudah saatnya kita berupaya mengikis atau bahkan menghilangkan kesan umum bahwa mempelajari bahasa Arab itu sulit. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu menambahkan kesadaran bersama bahwa mengerti dan menguasai bahasa Arab itu tidak hanya penting untuk menopang pemahaman kita terhadap ajaran Islam, melainkan penting juga untuk didayagunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Mengubah atau memperbaharui “motivasi kesadaran” masyarakat agar cinta bahasa Arab memang bukan pekerjaan mudah oleh karena itu, diperlukan beberapa pendekatan sebagai berikut :
Pertama, pendekatan edukatif. Pendekatan ini bisa diakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan cara bahwa setiap pengajar bahasa Arab dan agama Islam hendaknya mampu menumbuhkan motivasi dan menanamkan kesadaran akan pentingnya menguasai bahasa Arab. Tentu terlebih dahulu para pengajar itu membekali dirinya dengan kemampuan berbahasa Arab dan menguasai metode dan teknik mengajarkannya serta faktor kurikulum, sarana dan prasana juga harus diupayakan untuk lebih mendukung. Dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Arab, nampaknya kita perlu membenahi kembali sistem pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah dan perguruan-perguruan tinggi kita. Sekurang-kurangnya alokasi waktu yang memadai agar dapat mencakup materi-materi yang bukan bersifat ke-Islaman saja, melainkan juga bersifat keilmuan dalam berbagai bidang. Ali al-Hadidi membuat jenjang pengajaran bahasa Arab ke dalam empat tingkat yang masing-masing tingkatannya dibutuhkan 250 jam @ 60menit ( al-Hadidi, 1966: 125). Ia membuat rincian sebagai berikut :

No. Tingkat Belajar Reguler Belajar di Lab/ Latihan Jumlah
1 Dasar 200 Jam 50 Jam 250 Jam
2 Menengah 200 Jam 50 Jam 250 Jam
3 Lanjutan 200 Jam 50 Jam 250 Jam
4 Akhir 200 Jam 50 Jam 250 Jam
Jumlah 800 Jam 200 Jam 1000 Jam

Singkatnya, berbicara pendekatan edukatif tidak terlepas dari pelaksanaan proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, non formal maupun informal, dimana di dalamnya terdapat unsur input pembelajaran, proses dan output. Terkait dengan faktor input tentunya siswa itu sendiri, sedangkan yang terkait dengan unsur proses, setidak-tidaknya terdiri dari faktor pendidikan sebagaimana disebutkan diatas, yakni faktor kurikulumnya sendiri harus memadai (mencakup keseluruhan dari unsur pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan dan orientasi yang berbasis kompetensi), yang didukung oleh sarana dan prasana yang memadai, SDM /guru yang professional, alokasi waktu yang memadai serta aplikasi metodologi pengajaran yang mutahir. Terkait dengan metodologi, minimal ada lima metodologi yang bisa digunakan dan tentunya guru sebagai pelaksananya harus betul-betul menguasai, kelima metode tersebut terdiri dari :
1. Metode Gramatika-Terjemah
Metode ini berasumsi satu “logika semesta”, bahwa tatabahasa merupakan bagian dari filsafat dan logika, dapat memperkuat kemampuan berfikir logis, memecahkan masalah dan menghafal. Maka para pelajar bahasa dengan metode ini didorong untuk menghafal teks-teks klasik berbahasa asing dan terjemahannya, meskipun seringkali terdapat struktur kalimat dan kosakata atau ungkapan yang sudah tidak terpakai. Karakteristik metode ini yakni, siswa ditujukan dapat membaca karya sastra bahasa target, bersifat nahwu sentris secara deduktif, berbasis penghafalan, berbahasa pengantar bahasa ibu, dan peran aktif guru lebih dominan sedangkan siswa lebih sebagai pelajar pasif (penerima materi).
2. Metode Langsung
Metode ini berasumsi bahwa proses belajar bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu, yaitu dengan menggunakannya secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Adapun kemampuan menyimak dan berbicara dikembangkan kemudian. Karakteristik metode ini yaitu penguasaan bahasa Asing secara lisan dengan pengajaran kosakata melalui teks, pengajaran kaidah secara induktif, guru dan siswa sama-sama aktif dalam pengajaran yang lebih bersifat muhadatsah dan peragaan. Kekuatan metode ini siswa terampil dan mahir berbicara serta menguasai tatabahasa secara fungsional tidak sekedar teoritis. Kelemahannya yakni siswa lemah dalam kemampuan membaca, dibutuhkannya guru yang ideal dalam keterampilan berbahasa dan lincah dan tidak bisa dilaksanakan dalam kelas besar.
3. Metode Membaca
Metode ini berasumsi bahwa pengajaran bahasa tidak dapat bersifat multi-tujuan, dan bahwa kemampuan membaca adalah tujuan yang paling realistis. Karakterisitk metode ini yakni materi pelajaran berupa buku bacaan berbasis pemahaman dan kaidah bahasa diterangkan seperlunya.
4. Metode Audiolingual
Dikenal juga dengan metode tentara, karena metode ini untuk pertama kalinya digunakan dalam mengajarkan bahasa kepada para tentara Amerika yang akan berperang pasca perang dunia ke-2. karakteristik metode ini adalah penguasaan keterampilan bahasa secara seimbang dengan urutan Menyimak, Berbicara, membaca kemudian menulis. Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang mengarah pada analisis kontrastif dan kesalahan. Gramatika tidak diajarkan di awal dan kegiatan penerjamahan dihindari.


5. Metode Eklektik
Metode ini muncul berdasarkan ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap metode-metode di atas. Dengan asumsi bahwa tidak ada metode yang ideal dan lebih mengutamakan penggunaan metode berdasarkan kebutuhan siswa. Metode ini bisa menjadi metode yang ideal apabila didukung oleh penguasaan guru secara memadai terhadap berbagai macam metode. Sehingga guru dapat mengambil kekuatan dari setiap metode dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan program pengajaran yang ditanganinya. Contoh kongkrit penerapan metode ini adalah pengajaran bahasa Arab di Pondok Modern Gontor ; penerapan metode langsung sepenuhnya pada tahun pertama, dan penerapan metode eklektik pada tahun-tahun selanjutnya dengan tetap mengokohkan prinsip metode langsung yaitu pengharaman menggunakan bahasa Ibu. Inti dari metode ini adalah penggabungan antara porsi manipulatif dan komunikatif dalam pengajaran bahasa.


Kedua. Pendekatan sosial budaya. Dalam pendekatan ini hendaknya setiap umat Islam mulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan sosial kemasyarakatan memberikan perhatian yang memadai mengenai pengajaran bahasa Arab bagi anak didik mereka. Akan lebih efektif bila pemancar-pemancar radio ( yangmusim) dan TV-TV menyediakan program siaran yang berbau bahasa Arab. Selain itu ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya sama-sama memasyarakatkan bahasa Arab dan mendorong umatnya untuk mencintai bahasa Arab.

Ketiga, Pendekatan Politik. Akhir-akhir ini kita melihat di Indonesia banyak bermunculan pusat-pusat pengkajian terhadap sosial budaya bangsa lain yang sebetulnya bersifat politis. Umpamanya, Pusat Studi Bahasa selain Arab yang diadakan oleh berbagai universitas. Tetapi sampai sekarang nampaknya Pusat Studi Arab baik di lingkungan Perguruan Tingi atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya eksistensinya belum teroptimalkan, hal ini merupakan peluang dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk memulai membuka keran kerjasama dengan pendekatan politik yang lebih fair dengan bangsa-bangsa Arab. Pembukaan dan pengembangan pusat studi bahasa Arab yang eksistensinya betul-betul dioptimalkan secara komprehenship merupakan salah satu upaya kongkrit yang bisa dan harus dilakukan, dengan harapan bisa memberikan kontribusi yang positif bagi perbaikan dan pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia.

Pembelajaran bahasa arab