Rabu, 09 Desember 2009

Rasyid Ridha

SYEKH MUHAMMAD RASYID RIDHA
Sosok intelektual satu ini bernama lengkap
Muhammad Rasyid ridha bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin Al-Qolamuny.
Beliau lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari kota Tripoli, Libanon)
Pada tanggal 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.
Muhammad rasyid Ridho dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhotmat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridho masih memiliki pertalian darah dengan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW, dan oleh karenanya nama beliau memakai istilah “Sayyid” (istilah khas keturunan Nabi SAW).
Semasa kecilnya, Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Al-Qur’an, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Ridha kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun (1882), Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah dikota Tripoli . Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Asy-Syekh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi ole hide-ide medernisme. Disini, Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab (ilmu tata bahasa Arab seperti Nahwu, Sharaf) secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa Perancis dan Turki.
Namun, Ridha tidak dapat lama belajar disekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan studinya, Rasyid Ridha pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada diTripoli . Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah terus berlanjut. Guru inilah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Ridha dikemudian hari.
Diantara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati anak pribumi, padahal tidak disajikan pelajaran agama didalamnya.
Selaian menekuni pelajarannya di Madrasah Al-Wataniyyah, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-‘Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama mereka dipengasingan, Paris). Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam diri Ridha dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir tahun 1882, Ridha berkesempatan untuk berjumpa dan berdialog serta sharing ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.
Di Libanon, Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan yang diperolehnya, namun upayanya ini mendapat tantangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Utsmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan. Akibat semakin besarnya tantanga itu, akhirnya pada tahun 1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Abduh yang telah lama tinggal disana. Dikota ini Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh.
Disamping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pikiran brilian mereka. Muncullah majalah yang kemudian begitu terkenal, yaitu majalah Al-manar (berarti : menara/petunjuk), sebuah nama majalah yang diusulkan Ridha dan disetujui Abduh.
Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa, yaitu antara lain : (1) menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi (2) memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang (3) membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dan perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan.
Setelah penerbitan itu berjalan, dan proses transformasi pikiran-pikiran pembaharuan keislaman yang bersifat umum terus berlanjut, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Ridha sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Al-Qur’an dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.
Awalnya gagasan muridnya ini tidak segera ditanggapi secara serius, namun Rasyid Ridha terus mendesak hingga pada tahun 1899 Muhammad Abduh menyetujui ide penafsiran tersebut. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide brilian yang muncul dalam kuliah yang diberikan gurunya. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepadasang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Abduh ini hanya sampai pada surat An-Nisa’ ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT. Pada tahun 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Al-Qur’an. Maka untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsirsang guru hingga selesai.
Selain dalam hal pemikiran modern, pada dasarnya arah pembaharuan pemikiran Ridha tidak jauh berbeda dengan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha juga seorang pengikut sebuah tarekat, yaitu tarekat Naqsabandiah. Berdasarkan pengalaman tarekat ini, Ridha berpendapat bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadah dan pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif, dan ini jelas merugikan umat Islam.
Dalam hal pendidikan, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan agama dan umum, dan sebagai bentuk kepeduliannya, Ridha mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912 yang memiliki tujuan untuk menandingi sekolah-sekolah misionaris Kristen. Sekolah itu bernama Madrasah Ad-Da’wah wa Al-Irsyad. Para lulusan hasil gemblengan sekolah dakwah ini dikirimkannya ke Negara-negara Islam yang membutuhkan. Namun pada saat terjadi Perang Dunia I, sekolah ini terpaksa dihentikan kegiatannya.
Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha antara lain dalam bidang agama, bidang pendidikan dan politik. Dibidang agama, Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Ridha menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mereka tidak begitu terikat dengan pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup yang lebih maju dan modern.
Rasyid Ridha membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Adapun masalah yang pertama menurut Ridha, telah tertuang dalam teks Al-Qur’an secara qat’i (pasti) dan hadits mutawatir (yang jelas riwayatnya hingga Nabi SAW). Ini merupakan ketentuan terperinci dan absolute yang harus dilaksanakan, tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Rasyid Ridha menyoroti paham Fatalisme (semua diserahkan kepada Allah SWT, tanpa usaha) yang banyak menyelimuti umat Islam. Beliau berpendapat bahwa ajaran Islam mengandung paham Dinamika, bukan Fatalisme, dan paham inilah yang membuat kalangan Barat maju. Ridha menjelaskan lebih jauh bahwa paham dinamika dalam Islam mengambil bentuk kongrit, yaitu jihad yang memiliki pengertian kerja keras dan rela berkorban demi mencapai keridhaan Allah SWT. Etos kerja inilah yang mengantarkan umat Islam kepada kejayaan pada masa lalu. Hal lain yang menjadi perhatian adalah masalah toleransi bermadzhab, sebab ia melihat fanatisme madzhab begitu kuat dan ini mengakibatkan perpecahan dan kekacauan.
Dibidang pendidikan, Rasyid Ridha dangat perhatian terhadap dunia pendidikan dan menurutnya, umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, Ridha banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Beliau berhasil mendirikan sekolah di Kairo yang mengajarkan ilmu agama, seperti Al-Qur’an, tafsir, akhlaq, hikmah al-tasyri’ (hikmah penetapan syari’at), bahasa Eropa dan ilmu kesehatan. Melihat kesuksesan Ridha para pemuka Islam India mengundang Ridha untuk mendirikan lembaga pendidikan di India.
Dalam bidang politik (Fiqh Siyasi), Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), sebab Ridha banyak melihat penyebab kemunduran Islam antara lain karena perpecahan yang terjadi dikalangan mereka sendiri. Untuk itu, Rasyid Ridha menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa’ ar-Rasyidin (empat khalifah besar setelah Nabi SAW). Ridha menganjurkan pembentukkan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) dibawah naungan khalifah.
Khalifah ideal menurut Ridha adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi. Lebih lanjut Ridha menyebutkan dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan ahl al-halli wa al-‘aqdi yang anggotanya terdiri dari para ulama dan pemuka masyarakat. Tugas ahl al-halli wa al-‘aqdi selain mengawasi roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat dzalim dan sewenang-wenang.
Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Ridha, seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati. Dibawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ridha pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Rasyid Ridha juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
Karya-karya yang dihasilkan dalam pergulatan hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak, mulai dari melanjutkan Tafsir Al-Manar, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh, Nida’ Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Al-Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (ke Khalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan diberbagai wilayah. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya.
Nama besarnya terus dikenang hingga beliau menghadap ke haribaan Allah SWT, pada bulan Agustus 1935 M, bertepatan dengan tahun 1356 H.
Semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari perjalanan panjang tokoh pembaharu ini dan mengambil berbagai ide brilian yang dikumandangkannya hingga kita dapat merealisasikannya dalam kehidupan.

Pembelajaran bahasa arab

Pembelajaran Bahasa Arab

Menyoal Problematika Pengajaran Bahasa Arab
Oleh : DR. H. Sofyan Sauri, M.Pd (Dosen UPI)

Kenyataan yang kita hadapi bahwa sesungguhnya kondisi pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah/sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan. Kendala atau tantangan tersebut paling tidak dapat terlihat dalam beberapa hal berikut :
Pertama, dari segi edukatif. Pengajaran bahasa arab masih relatif kurang ditopang oleh faktor-faktor pendidikan yang memadai. Yang dimaksud faktor-faktor disini diantarnya faktor kurikulum (termasuk di dalamnya orientasi dan tujuan, materi dan metodologi pengajaran serta sistem evaluasi), tenaga edukatif, sarana dan prasarana.
Kedua, dari segi sosial budaya pada umumnya peta pengajaran bahasa Arab berada dalam lingkungan sosial yang kurang kondusif kecuali di lingkungan pendidikan seperti Pondok Modern Gontor, LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan lain-lain. Kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini masyarakat kita dihadapkan pada “Pertunjukan Budaya Barat” dengan segala macam pengaruhnya melalui media elektronik semacam RCTI, SCTV dan lain-lain. Dalam hal ini patut dicatat bahwa “cultural show” berbahasa Inggris yang disajikan dalam bentuk film-film dan acara lainnya, sedikit banyak mempengaruhi iklim pengajaran bahasa Arab. Kemudian fenomena umum ummat Islam kita cenderung sudah merasa puas kalau sudah pandai membaca al-Quran, walaupun tidak mengerti artinya, padahal untuk bisa paham Al Qur’an tidak hanya cukup bisa membaca, melainkan tahu artinya dan bahasa arab merupakan entry point untuk itu.
Ketiga, faktor linguistik bahasa Arab itu sendiri, selama ini nampaknya masyarakat kita termasuk para siswa di madrasah cenderung mempunyai kesan bahwa mempelajari bahasa Arab itu jauh lebih sulit daripada mempelajari bahasa asing lainnya, kemudian jika mereka mempelajari bahasa Arab banyak dimotivasi oleh kepentingan yang bersiat religius ideologis daripada kepentingan praktis pragmatis. Peranan bahasa arab juga masih dikatakan marginal, masyarakat pada umumnya tidak merasa perlu mempelajari bahasa Arab sebagaimana halnya mempelajari bahasa Inggris atau bahasa lainya, Keempat, dari segi politik dan diplomasi luar negeri. Dapat dilihat bahwa selama ini kita belum banyak memanfaatkan peluang dengan negara-negara yang berbahasa Arab, dalam bentuk kerjasama di bidang-bidang yang cukup strategis, seperti ekonomi dan pendidikan. Selama ini nampaknya bahasa Arab baru didayagunakan dalam rangka pengiriman TKI ke negara-negara Teluk, tapi itu pun belum maksimal. Padahal dengan poitik dan diplomasi yang menyeluruh kita akan bisa membuka peluang-peluang baru yang lebih menguntungkan untuk pendayagunaan bahasa Arab dalam bidang, yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi semangat kita dalam mempelajari bahasa Arab.
Seiring dengan dinamika dan kemajuan abad informasi dan globalisasi dewasa ini, nampaknya sudah saatnya kita berupaya mengikis atau bahkan menghilangkan kesan umum bahwa mempelajari bahasa Arab itu sulit. Bersamaan dengan itu, kita juga perlu menambahkan kesadaran bersama bahwa mengerti dan menguasai bahasa Arab itu tidak hanya penting untuk menopang pemahaman kita terhadap ajaran Islam, melainkan penting juga untuk didayagunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Mengubah atau memperbaharui “motivasi kesadaran” masyarakat agar cinta bahasa Arab memang bukan pekerjaan mudah oleh karena itu, diperlukan beberapa pendekatan sebagai berikut :
Pertama, pendekatan edukatif. Pendekatan ini bisa diakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan cara bahwa setiap pengajar bahasa Arab dan agama Islam hendaknya mampu menumbuhkan motivasi dan menanamkan kesadaran akan pentingnya menguasai bahasa Arab. Tentu terlebih dahulu para pengajar itu membekali dirinya dengan kemampuan berbahasa Arab dan menguasai metode dan teknik mengajarkannya serta faktor kurikulum, sarana dan prasana juga harus diupayakan untuk lebih mendukung. Dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Arab, nampaknya kita perlu membenahi kembali sistem pengajaran bahasa Arab di madrasah-madrasah dan perguruan-perguruan tinggi kita. Sekurang-kurangnya alokasi waktu yang memadai agar dapat mencakup materi-materi yang bukan bersifat ke-Islaman saja, melainkan juga bersifat keilmuan dalam berbagai bidang. Ali al-Hadidi membuat jenjang pengajaran bahasa Arab ke dalam empat tingkat yang masing-masing tingkatannya dibutuhkan 250 jam @ 60menit ( al-Hadidi, 1966: 125). Ia membuat rincian sebagai berikut :

No. Tingkat Belajar Reguler Belajar di Lab/ Latihan Jumlah
1 Dasar 200 Jam 50 Jam 250 Jam
2 Menengah 200 Jam 50 Jam 250 Jam
3 Lanjutan 200 Jam 50 Jam 250 Jam
4 Akhir 200 Jam 50 Jam 250 Jam
Jumlah 800 Jam 200 Jam 1000 Jam

Singkatnya, berbicara pendekatan edukatif tidak terlepas dari pelaksanaan proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, non formal maupun informal, dimana di dalamnya terdapat unsur input pembelajaran, proses dan output. Terkait dengan faktor input tentunya siswa itu sendiri, sedangkan yang terkait dengan unsur proses, setidak-tidaknya terdiri dari faktor pendidikan sebagaimana disebutkan diatas, yakni faktor kurikulumnya sendiri harus memadai (mencakup keseluruhan dari unsur pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan dan orientasi yang berbasis kompetensi), yang didukung oleh sarana dan prasana yang memadai, SDM /guru yang professional, alokasi waktu yang memadai serta aplikasi metodologi pengajaran yang mutahir. Terkait dengan metodologi, minimal ada lima metodologi yang bisa digunakan dan tentunya guru sebagai pelaksananya harus betul-betul menguasai, kelima metode tersebut terdiri dari :
1. Metode Gramatika-Terjemah
Metode ini berasumsi satu “logika semesta”, bahwa tatabahasa merupakan bagian dari filsafat dan logika, dapat memperkuat kemampuan berfikir logis, memecahkan masalah dan menghafal. Maka para pelajar bahasa dengan metode ini didorong untuk menghafal teks-teks klasik berbahasa asing dan terjemahannya, meskipun seringkali terdapat struktur kalimat dan kosakata atau ungkapan yang sudah tidak terpakai. Karakteristik metode ini yakni, siswa ditujukan dapat membaca karya sastra bahasa target, bersifat nahwu sentris secara deduktif, berbasis penghafalan, berbahasa pengantar bahasa ibu, dan peran aktif guru lebih dominan sedangkan siswa lebih sebagai pelajar pasif (penerima materi).
2. Metode Langsung
Metode ini berasumsi bahwa proses belajar bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu, yaitu dengan menggunakannya secara langsung dan intensif dalam komunikasi. Adapun kemampuan menyimak dan berbicara dikembangkan kemudian. Karakteristik metode ini yaitu penguasaan bahasa Asing secara lisan dengan pengajaran kosakata melalui teks, pengajaran kaidah secara induktif, guru dan siswa sama-sama aktif dalam pengajaran yang lebih bersifat muhadatsah dan peragaan. Kekuatan metode ini siswa terampil dan mahir berbicara serta menguasai tatabahasa secara fungsional tidak sekedar teoritis. Kelemahannya yakni siswa lemah dalam kemampuan membaca, dibutuhkannya guru yang ideal dalam keterampilan berbahasa dan lincah dan tidak bisa dilaksanakan dalam kelas besar.
3. Metode Membaca
Metode ini berasumsi bahwa pengajaran bahasa tidak dapat bersifat multi-tujuan, dan bahwa kemampuan membaca adalah tujuan yang paling realistis. Karakterisitk metode ini yakni materi pelajaran berupa buku bacaan berbasis pemahaman dan kaidah bahasa diterangkan seperlunya.
4. Metode Audiolingual
Dikenal juga dengan metode tentara, karena metode ini untuk pertama kalinya digunakan dalam mengajarkan bahasa kepada para tentara Amerika yang akan berperang pasca perang dunia ke-2. karakteristik metode ini adalah penguasaan keterampilan bahasa secara seimbang dengan urutan Menyimak, Berbicara, membaca kemudian menulis. Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang mengarah pada analisis kontrastif dan kesalahan. Gramatika tidak diajarkan di awal dan kegiatan penerjamahan dihindari.


5. Metode Eklektik
Metode ini muncul berdasarkan ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap metode-metode di atas. Dengan asumsi bahwa tidak ada metode yang ideal dan lebih mengutamakan penggunaan metode berdasarkan kebutuhan siswa. Metode ini bisa menjadi metode yang ideal apabila didukung oleh penguasaan guru secara memadai terhadap berbagai macam metode. Sehingga guru dapat mengambil kekuatan dari setiap metode dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan program pengajaran yang ditanganinya. Contoh kongkrit penerapan metode ini adalah pengajaran bahasa Arab di Pondok Modern Gontor ; penerapan metode langsung sepenuhnya pada tahun pertama, dan penerapan metode eklektik pada tahun-tahun selanjutnya dengan tetap mengokohkan prinsip metode langsung yaitu pengharaman menggunakan bahasa Ibu. Inti dari metode ini adalah penggabungan antara porsi manipulatif dan komunikatif dalam pengajaran bahasa.


Kedua. Pendekatan sosial budaya. Dalam pendekatan ini hendaknya setiap umat Islam mulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan sosial kemasyarakatan memberikan perhatian yang memadai mengenai pengajaran bahasa Arab bagi anak didik mereka. Akan lebih efektif bila pemancar-pemancar radio ( yangmusim) dan TV-TV menyediakan program siaran yang berbau bahasa Arab. Selain itu ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya sama-sama memasyarakatkan bahasa Arab dan mendorong umatnya untuk mencintai bahasa Arab.

Ketiga, Pendekatan Politik. Akhir-akhir ini kita melihat di Indonesia banyak bermunculan pusat-pusat pengkajian terhadap sosial budaya bangsa lain yang sebetulnya bersifat politis. Umpamanya, Pusat Studi Bahasa selain Arab yang diadakan oleh berbagai universitas. Tetapi sampai sekarang nampaknya Pusat Studi Arab baik di lingkungan Perguruan Tingi atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya eksistensinya belum teroptimalkan, hal ini merupakan peluang dan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk memulai membuka keran kerjasama dengan pendekatan politik yang lebih fair dengan bangsa-bangsa Arab. Pembukaan dan pengembangan pusat studi bahasa Arab yang eksistensinya betul-betul dioptimalkan secara komprehenship merupakan salah satu upaya kongkrit yang bisa dan harus dilakukan, dengan harapan bisa memberikan kontribusi yang positif bagi perbaikan dan pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia.

Pembelajaran bahasa arab

Minggu, 18 Oktober 2009

Blog Entry Belajar dari Filsafat Timur!!

"Knowledge is Power"






2.a. Kontribusi Hinduisme di dalam memahami manusia?
Hinduisme memberikan sumbangan yang cukup besar di dalam memahami manusia. Di dalam hinduisme, badan atau tubuh adalah bagian dari diri manusia untuk mencapai keselamatan (salvation). Paham semacam ini mau melawan paham klasik yang melihat jiwa dan badan sebagai sesuatu yang terpisah di dalam diri manusia. Hinduisme dapat memberikan kontribusi pada proses memahami manusia secara lebih menyeluruh. Di dalam Hinduisme, manusia dilihat dengan dua sudut pandang, yakni secara vertikal dan secara horisontal. Secara vertikal, manusia terdiri dari tubuh (body) dan jiwa (soul). Secara horisontal, manusia dapat dilihat sebagai kesatuan dari tiga bagian, yakni elemen-elemen untuk mengetahui (elements of knowing), elemen-elemen untuk merasakan (elements of feeling), dan elemen-elemen untuk berkehendak (elements of willing). Kelima hal ini adalah inti dari seluruh hinduisme di dalam upayanya untuk memahami manusia. Kelima hal ini juga dapat dipahami sebagai Yoga, yakni sebagai sebuah jalan untuk bersatu dengan Tuhan (God). Artinya, manusia dapat bersatu dengan Tuhan, jika ia mampu dan mau mengasah kelima bagian di dalam dirinya tersebut.
Hinduisme juga memandang manusia sebagai mahluk yang pada hakekatnya memiliki kebebasan. Akan tetapi, kebebasan disini lebih dimengerti sebagai kebebasan spiritual (spiritual freedom). “Seperti layaknya kebebasan politis”, demikian tulis Sharma, “di mana orang tidak bisa seenaknya menerobos lampu merah sembarangan, kebebasan spiritual tidaklah berarti orang dapat secara buta mengabaikan norma-norma konvensional yang menjadi landasan dari kehidupan sosial.” Memang, norma-norma yang konvensional tersebut dapat berubah. Akan tetapi, fondasinya tetaplah ada. Dalam arti ini, Hinduisme sangat mirip dengan paham demokrasi di dalam politik. Jika keutamaan utama dari orang-orang yang hidup di dalam alam demokrasi adalah kebebasan untuk “mengayunkan tangan sesukanya selama itu tidak menyakiti hidung orang lain”, maka di dalam Hinduisme, setiap orang dapat memilih apa yang menjadi penghayatan religiusnya selama penghayatan tersebut tidak menyakiti orang lain. Di dalam pemerintahan demokratis, setiap orang dapat memilih wakilnya di parlemen. Di dalam Hinduisme, setiap orang dapat memilih “dewa”nya sendiri. Jika di dalam pemerintahan demokratis, setiap orang bisa menentukan sendiri apakah ia hendak memilih wakilnya atau tidak, maka di dalam Hinduisme, setiap orang bisa memilih sendiri apakah ia mau mempunyai Tuhan, atau tidak. Jelaslah bahwa di dalam Hinduisme, manusia dianggap sebagai mahluk yang secara esensial memiliki kebebasan.

b. Konfusianisme sebagai Humanisme?
Di dalam Konfusianisme, kita dapat menemukan suatu jenis humanisme tertentu. Memang, di dalam proses perkembangannya, paham humanisme sendiri memiliki banyak versi yang sangat tergantung dari konteks jaman, ataupun gaya berpikir seorang filsuf tertentu, termasuk juga di dalam tradisi berpikir Konfusianisme. Hal yang paling mendasar di dalam seluruh tradisi Konfusianisme adalah suatu upaya belajar terus menerus untuk menjadi manusia dalam arti sesungguhnya. Yang menjadi fokus dari Konfusianisme bukanlah konsep manusia dalam perbedaannya dengan alam (nature) ataupun Surga/Langit (Heaven), melainkan manusia dalam prosesnya untuk mencapai harmoni dengan alam dan Langit. Di dalam paradigma Konfusianisme, proses belajar untuk menjadi manusia yang sesungguhnya juga mencakup proses untuk menyadari keterkaitan seluruh alam semesta yang bermuara di dalam diri manusia, yakni relasi yang menyeluruh dan saling terkait antara keluarga, komunitas, bangsa, dunia, dan segala sesuatu yang melampaui dunia ini. Dengan kata lain, Konfusianisme mengajak kita untuk menyadari arti kemanusiaan sesungguhnya dalam konteks kepenuhan dan totalitasnya. Dengan adanya kesadaran tentang totalitas dan keterkaitan segala sesuatu ini, kita akan dapat semakin mengerti dan memahami diri kita sendiri, sehingga tubuh kita akan sehat, pikiran kita akan selalu waspada, jiwa dan hati kita akan menjadi murni, dan roh kita akan menjadi cemerlang. Inilah ‘latihan rohani’ ala Konfusianisme. Pengolahan diri semacam ini adalah tujuan pada dirinya sendiri, dan merupakan tujuan utama setiap orang yang menganut pandangan Konfusianisme.
“Karakteristik mendasar dari humanisme Konfusian”, demikian tulis Tu Wei-Ming, “adalah keyakinan pada aspek kreatif yang mendorong perubahan manusia sebagai suatu tindakan komunal dan sebagai tanggapan positif terhadap Langit,” Dua inti yang patut diperhatikan disini, bahwa manusia dapat mencapai kepenuhannya di dalam komunitasnya, dan bukan di dalam isolasi individualistiknya, serta manusia juga dapat mencapai kepenuhan, jika ia membangun relasi yang positif dan kreatif dengan Langit. Di samping itu, humanisme Konfusian juga sangat menekankan integrasi dari empat dimensi yang mempengaruhi diri manusia, yakni diri, komunitas, alam, dan Langit. Suatu upaya untuk mendalami humanisme Konfusian harus sungguh-sungguh memperhatikan keempat aspek tersebut, yakni diri (self) sebagai sumber dari perubahan yang kreatif dan dinamis bagi pengembangan manusia, komunitas (community) sebagai ruang yang memungkinkan aktualisasi diri manusia, alam (nature) sebagai penyedia sumber daya bagi semua bentuk kehidupan, dan Langit (heaven) sebagai sumber dari realisasi diri yang paling puncak. Inilah konsepsi humanisme Konfusian yang tidak memandang manusia sebagai subyek yang atomistik, rasional, otonom murni, melainkan manusia sebagai mahluk yang selalu sudah memiliki relasi menyeluruh dan total dengan komunitasnya, alam, dan dengan Langit.

c. Arti emptiness di dalam Budhisme?
Kekosongan (emptiness), atau Śūnyatā, adalah realitas tertinggi dan terakhir di dalam Budhisme. Untuk memahami apa arti kekosongan sesungguhnya, kita harus melepaskan diri dari konsep kekosongan yang seringkali muncul di kepala kita melalui konsep bahasa. Kekosongan disini adalah “realitas dunia di dalam intuisi yang terpisah dari bahasa; dengan demikian, ada emansipasi dari penderitaan yang disebabkan oleh keterikatan pada diskriminasi. Oleh karena itu, kekosongan bukan hanya merupakan konsep filosofis, tetapi juga merupakan konsep religius.”

“Sunyata”, demikian tulis C.C Chang, “adalah kombinasi dari kata kosong (empty) dan akhiran ness, sehingga menjadi kekosongan… dengan demikian, Śūnyatā mau menyatakan bahwa walaupun benda-benda di dalam dunia fenomena tampak nyata dan memiliki substansi tertentu, tetapi sebenarnya, benda-benda itu kosong di dalamnya. Benda-benda di dalam dunia fenomenal hanya tampaknya saja nyata, tetapi tidak nyata… Śūnyatā adalah kondisi di mana setiap konsep kedirian menjadi hilang.”
Masao Abe, seorang ahli mengenai Budhisme, berpendapat bahwa ada tiga hal yang bisa disimpulkan mengenai konsep kekosongan di dalam Budhisme. Pertama, kekosongan adalah konsep yang paling ultim di dalam Budhisme yang tidak dapat direifikasi ke dalam konsep-konsep buatan manusia. Dengan kekosongan ini, Budhisme mau melampaui semua dualitas yang ada pada manusia, seperti baik-buruk, jiwa-badan, dan sebagainya. Kedua, dengan demikian, seperti sudah ditekankan sebelumnya, realitas tertinggi di dalam Budhisme bukanlah Tuhan, Ada, ataupun Substansi, melainkan “kekosongan”, di mana orang bisa terbebas dari semua bentuk reifikasi konseptual. Ketiga, kekosongan sebagai realitas ultim di dalam Budhisme ini haruslah dikosongkan dari semua bentuk keterikatan terhadap ‘konsep kekosongan’. “Kekosongan yang sesungguhnya”, demikian tulis Abe, “bukanlah suatu keadaan yang bersifat statis..melainkan dinamis untuk mengosongkan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri.” Ketika seorang Budhis membicarakan tentang kekosongan, maka ketiga pengertian ini sudah selalu diandaikan.
Yang juga harus ditekankan adalah bahwa konsep kekosongan di dalam Budhisme sama sekali tidak bersifat nihilistik. Yang menjadi titik tolak utama dari konsep kekosongan di dalam Budhisme adalah penolakan terhadap diri (self) dan semua bentuk entitas yang memiliki substansi (substantiated entity). Dengan menolak atau menegasi kedua hal itu, maka realitas yang sesungguhnya akan tampak. Akan tetapi, negasi atau penolakan terhadap di dalam Budhisme bukalah semata-mata penolakan harafiah, karena jika begitu, maka Budhisme akan bersifat nihilistik. Negasi itu adalah realisasi dari apa yang disebut ‘awal yang tidak mengandaikan apapun lagi’ (pratitya-samutpáda) yang menampakkan diri melalui negasi atas diri dan entitas yang memiliki subtansi. Dengan kata lain, ‘awal yang tidak mengandaikan apapun lagi’ ini menampakkan diri melalui ‘kekosongan dari segala-galanya’ (the emptiness of everything). “Awal yang tidak mengandaikan apapun lagi”, demikian tertulis di Nagarjuna, “dapat kita sebut sebagai kekosongan… dan karena tidak ada dharma tanpa awal yang tidak mengandaikan apapun lagi, maka tidak ada dharma yang ada jika ia tidak kosong.” Dengan demikian, kekosongan dapat ditemukan, ketika segala sesuatu, terutama diri dan segala sesuatu yang memiliki substansi, sepenuhya dinegasi, dan disadari sebagai kekosongan.

Apakah ini bisa menjadi motivasi manusia untuk mengejar kesempurnaan hidup?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah ya. Di dalam Budhisme, kekosongan adalah kesempurnaan tertinggi yang dapat dicapai manusia, ketika manusia mampu menegasi secara total dirinya sendiri, dan juga telah menegasi segala sesuatu yang memiliki substansi. “Identitas antara kekosongan dengan awal yang tidak mengandaikan apapun lagi,” demikian tulis Masao Abe, “.. disadari secara penuh sebagai tujuan dari seluruh ajaran Budhisme.” Penjelasan untuk argumen ini sebenarnya cukup rumit. Begini, setiap orang Budha ingin mencapai kesempurnaan hidup, dan kesempurnaan hidup itu adalah Nirvana, di mana setiap bentuk samsara atau penderitaan telah dilampaui. Akan tetapi, untuk melepaskan diri dari penderitaan, orang harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari keinginan mencapai Nirvana, sekaligus dari samsara itu sendiri. Penekanan ‘penolakan terhadap Nirvana’ juga harus setara dengan penekanan pada ‘penolakan terhadap samsara’. Jika orang ingin mencapai Nirvana dengan berupaya melampaui samsara, maka ia masihlah terikat, yakni terikat pada Nirvana. Pada titik ini, orang tersebut masihlah egois, karena ia hanya memikirkan kepentingan dan kenikmatan dirinya sendiri. “Kekosongan diri yang sempurna”, demikian tulis Abe, “hanya dapat dicapai dengan cara melampaui Nirvana dan kembali serta bekerja di tengah penderitaan di dunia yang terus berubah”. Artinya, Nirvana di dalam Budhisme adalah suatu upaya manusia untuk menantang dan melawan penderitaan itu sendiri, yakni samsara. Oleh karena itu, di dalam Budhisme sering juga dikatakan bahwa “Samsara pada dirinya sendiri adalah Nirvana.” Dengan demikian, Nirvana adalah suatu kondisi kekosongan itu sendiri, di mana orang dapat bebas dari semua bentuk pikiran-pikiran yang terikat, dan mampu melihat segala sesuatu dalam keunikan dan perbedaannya tanpa ada rasa terikat sedikit pun. Nirvana juga adalah realisasi dari cinta yang universal, karena ia memikirkan keselamatan banyak orang dalam prosesnya menantang penderitaan tanpa terikat. Abe menulis bagus sekali tentang hal ini,

“Dengan demikian, Budhisme menekankan tidak memeluk samsara sehingga mampu sampai pada kebijaksanaan, dan tidak memeluk Nirvana sehingga orang dapat mencintai dengan penuh. Kebebasan dari samsara dan keinginan untuk mencapai Nirvana ini adalah Nirvana dalam arti yang sesungguhnya. Ini adalah makna sesungguhnya dari kekosongan”.

Jadi, jika ditanya, apakah kekosongan di dalam Budhisme ini layak mendorong manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka jawabannya adalah ya, karena di dalam kekosongan ini, manusia mencapai kebebasan dan kebahagiaan sepenuh-penuhnya, di mana ia tidak lagi terikat pada apapun atau siapapun di dunia ini. Dengan mencapai kekosongan, manusia bisa tetap berjuang melawan ketidakadilan dan penderitaan tanpa harus terikat pada perjuangan itu sendiri. Suatu versi kesempurnaan hidup ala Budhisme yang isinya patut sekali kita pertimbangkan dan refleksikan lebih jauh.

Daftar Pustaka
Sharma, Arvind, Our Religions, New York: HarperCollins, 1995.

Pengantar Filsafat


Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problema falsafi pula. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi daripada arti dan berlakunya kepercayaan manusia pada sisi yang paling dasar dan universal. Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal ini membuat filasafat sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu bisa dikatakan banyak menunjukkan segi eksakta, tidak seperti yang diduga banyak orang.

  • Klasifikasi filsafat

Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”.

‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf: Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, dan Averroes.

  • Munculnya Filsafat

Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.

Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.

Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.

Klasik

“Pra Sokrates”: Thales – Anaximander – Anaximenes – Pythagoras – Xenophanes – Parmenides – Zeno – Herakleitos – Empedocles – Democritus – Anaxagoras
“Zaman Keemasan”: Sokrates – Plato – Aristoteles
Abad Pertengahan
“Skolastik”: Thomas Aquino

Moderen

Rene Descartes – Baruch de Spinoza- Blaise Pascal – Leibniz – Thomas Hobbes – John Locke – Georg Hegel – Immanuel Kant – Søren Kierkegaard – Karl Marx- Friedrich Nietzsche – Schopenhauer – Edmund Husserl

Kontemporer
Michel Foucault – Martin Heidegger – Karl Popper -Bertrand Russell – Jean-Paul Sartre – Albert Camus – Jurgen Habermas – Richard Rotry- Feyerabend- Jacques Derrida – Mahzab Frankfurt

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

Studi Alquran

Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Daftar isi

[sembunyikan]

Etimologi

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)

Terminologi


Sebuah cover dari mushaf Al-Qur'an

Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:

“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:

"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Nama-nama lain Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

  • Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
  • Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
  • Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
  • Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
  • Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
  • Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
  • Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
  • Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
  • At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
  • Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
  • Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
  • Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
  • Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
  • Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
  • An-Nur (cahaya): QS(4:174)
  • Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
  • Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
  • Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

Struktur dan pembagian Al-Qur'an

Surat, ayat dan ruku'

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

Makkiyah dan Madaniyah

Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.

Juz dan manzil

Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

Menurut ukuran surat

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf


Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12

Penurunan Al-Qur'an

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.

Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

[sunting] Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:

Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).


Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

Terjemahan

Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:

  1. Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
  2. Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
  3. An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
  4. Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS

Terjemahan dalam bahasa Inggris

  1. The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
  2. The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall

Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:

  1. Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
  2. Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
  3. Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
  4. Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
  5. Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
  6. Al-Amin (bahasa Sunda)

[sunting] Tafsir

Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.

Adab Terhadap Al-Qur'an

Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.

Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.

Hubungan dengan kitab-kitab lain

Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:

  • Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
  • Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
  • Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
  • Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.

Daftar kepustakaan

  • Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
  • Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
  • Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
  • Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
  • Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
  • ------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
  • Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
  • al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
  • al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
  • Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
  • al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
  • al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
  • ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
  • ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
  • Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
  • -----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
  • Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.


DIMENSI FILSAFAT ILMU

DIMENSI FILSAFAT ILMU

PENDAHULUAN.

Dalam bentuk kontemporer filsafat ilmu kemudian menjadi suatu topik bagi analisis dan diskusi eksplisit yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya yaitu: etika, logika, dan epistemologi (teori pengetahuan). Sebagai suatu disiplin, filsafat ilmu berusaha untuk menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penelitian ilmiah yaitu prosedur-posedur pengamaatan, pola argument, metode penyajian dan penghitungan, praandaian-praandaian metafisik dan seterusnya. Kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya bedasarkan sudut pandang logika formal, metodologi praktis dan metafisika.1

Jangkauan filafat ilmu apabila ditinjau dari paradigma keluasannya ada beberapa dimensi yang bisa menjadi cakupan kajiannya. Pertama, dimensi ilmu yang bersifat reflektif abstrak dan formal tersir dari dua: dimensi filsafat dan dimensi logis. Dari sudut tinjauan filsafat maka ilmu dapat dipandang sebagai suatu pandangan dunia (world view) atau nilai manusiawi (human value). Tinjuan dari sudut logika membahasa internal consistensi pada proposisi-proposisi ilmu atau menekankan hampir formal yang menurut Albert Einstein, tujuan segala ilmu, entah ilmualam atau psikologi adalah mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman kita dan menjadikan pengalaman tersebut menjadi pengalaman logis. Dimensi ilmu lainnya yang berpangkal pada aspek realitas di dunia adalah: cultural dimension (dimensi kebudayaan), historical dimension (dimensi sejarah), humanistic dimension (dimensi kemanusiaan), recreational dimension(dimensi rekreasi), dan system dimension (dimensi sistem). [2]

Sedangkan dimensi filsafat ilmu yang sering menjadi kajian secara umum yaitu meliputi tiga hal: dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Ketiganya merupakan cakupan yang meliputi dari keseluruhan–keseluruhan pemikiran kefilsafatan. Dimensi yang pertama, membahas dan mengetahui tentang asas-asas rasional dari yangada, mengetahui esensi dari yang ada. Dimensi epistemologi menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologi berusaha mengetahui hubungan antara ilmu dan etika yang mempertanyakan mengenai nilai-nilai yang dijadikan sebagai kunci keputusan dan tindakan manusia. Pemahaman terhadap ketiga dimensi di atas sangat penting, karena merupakan pokok pemahaman dari kerangka pemikiran filsafati. Dari makalah ini akan sedikit menguraikan ketiga dimensi tersebut.

DIMENSI ONTOLOGI.

Perkataan “ontology” berasal dari perkataan dari Yunani “ yang ada” juga berarti logos.[3], merupakan abang filsafat yang menggeluti tata dan struktur reslitas dalam arti seluas mungkin. da Ontology menggunakan kategori-kategori ada-menjadi , aktualitas- potensialitas, nyata-tampak, perubahan, eksistensi-non eksistensi, esensi, keniscayaan yang ada sebagai yang ada. Pertanyaan mendasar yang digumuli di dalam ontology adalah “Apa itu ada – dalam – dirinya - sendiri? Apa hakikat ada sebagai Ada? Istilah ontologi muncul sekitar abad ke-17 yang dikenal dengan ungkapan mengenai “filsafat mengenai yang – ada” (philosophia entis). Martin Heidegger (1889-1976) memeahamiontologi sebagai analisis eksistensi dan yang memungkinkan adanya eksistensi. Para eksistensialis menunjukkan bahwa pengetahuan apa pun yang dikembangkan haruslah dikembalikan pada eksistensi dan keeksistansi manusia sebagai “ Ada” yang mengadakan atau “pengada actual” (causa efficiens). Pemikiran diatas menunjukkanbahwa pengembanan epistemiligi merupakan suatu tugas cultural yang dilandaskan pada ada atau keberadaan jatidiri manusia.[4]

Contoh dari paradigama ontologi filsafati adalah ontologi sain, menghendaki sesuatu yang bersifat rasional sehingga menghasilkan hipotesis yang raisonal pula. Setelah menemukan hipotesis yang rasional maka dibuktikan secara empiris, sebagaimana mengikuti metode ilmiah. Metode Ilmiah merupakan metode yang membuktikan bahwa suatu hal tersebut bersifat logis, kemudian menarik sebuh hipotesis yang disertai dengan bukti empiris.[5] Sedangakan perbedaan antara ontologi dan kosmologi adalah bahwa, ontologi berusaha untuk mengetahui esensi terdalam dari yang – ada, sedangakan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya. Materialisme misalnya adlah ajaran ontologi yang mengatakan bahwa yang ada yang terdalam bersifat material. Apakah kenyataan itu mengandung tujuan atau bersifat mekanis (artinya, bersifat teleogis atau tidak) merupakan suatu pertanyaan ontologis.[6]

Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang kuantitatif, hal ini bisa dicintohkan “Kenyataan itu tunggal atau jamak?” atau dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” Yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu segenap masalah dibidang oontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat umum seperti, “Bagaimanakah cara kita hendak membicarakan kenyataan?”

Dalam prakteknya, penyelesaian masalah ontologis mempunyai berbagai macam jawaban filsafati yang berbeda-beda, sesuai dengan titik tolak pemikiran yang digunakan. Kita dapat memberi comtoh hal tersebut misalnya dengan berbagai pandangan atau aliran filsafat seperti jawaban natiralisme, materialisme, idealisme dan pisitivme logis. Salah satu tokoh aliran filsafat idealisme yang paling terkenal adalah Hegel. Menirut Hegel akal adalah kepastian yang sadar tentang semua realitas yang ada, ia menegaskan bahwa yang nyata adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata. Idealisme absolut merupakan landasan filsafat Hegel yang menempatkan ide absolut sebgai hakikat ontologis.[7]

Contoh lain dari jawaban ontologis adalah aliran materialisme. Apabila naturalisme mendasarkan ajarannya pada penelitian “alam”, maka aliran materialisme berusaha melampaui pengertian “alam” dan mendasarkan diri pada macam substansi atau kenyataan terdalam yang dinamakan materi. Kaum meterialis pada masa lampau memandang alam semesta tersusun dari zat-zat renik yang terdalam tersebut dan memandang alam semesta dapat diterangakam berdasarkan hukum-hukum dinamika, contohnya hal ini dikenal dengan rumus fisika dewasa ini dengan E = MC2, yang menggambarakan bahwa tenaga E kedudukannya dapat saling dipertukarkan dengan massa m. jadi istilah pokok yang melandasi ajaran mwterialisme adalah “materi”. Contoh dari artikulasi ontologi materi adalah teori evolusi Charles Darwin.

EPISTEMOLOGI.

Cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi. Istilah “epistemologi” berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja “epistemai”, artinya menunjukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Selain kata “episteme”, unutk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis” maka istilah kata epistemologi dalam sejarah pernah disebut juga gneseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory fo knowledge; Erkentnistheorie).

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengtahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu oada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui? Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitas. Pertanyaan pook “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” mau dijawab secara seksama. Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk meninbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan, sosial, dan alam sekitarnya. Maka, epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dna kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur, dan dalam hal ini tolok ukur dalam kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi (seperti dibuat oleh psikologi kognitif), tetapiperlumembuat penentuan man ayng betul dan mana yang keliru berdasarkan norma epestemik. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi, cara kerja atau pendekatannyang diambil, maupun kesimpulan ang ditarik dalam pelbagai kegiatan kognitif manusia.[8]

Cara kerja atau metode pendekatan epistemologi sama dengan ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi objek ilmu filsafat tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosiologi kognitif dan sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat seara umum dari ilmu-ilmu lain bukannlah objek materialnya atau apa yang menjadi kajian, tetapi objeke formal atau cara pendekatannya: bagaimana objek yang dijadikan bahan kajian itu didekati. Ciri khas cara pendekatan filasfat terhadap objek kejiannya tampak dari enis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang diberikan. Filsafat berusaha secara kritis mengajukan dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyan yang bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar.

Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang diambil terhadap gekala pengetahuan bisa dibedakan beberapa macam epistemologi. Pertama, epistemologi metafisis, yaitu epistemologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengandaian metafisika tertentu. Epistemologi ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Plato misalnya meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunis ide-ide, plato dalam epistemologinya memehami kegiatan mengetahui sebagai kekuatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan saja yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Ia juga secara tegas membedakan antara pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat objektif, universal dan tetap tak berubah, serata pendapat (doxa), sebagai suatu yang bersifat subjektif, partikular dan berubah-ubah.

Kedua, epistemologi skeptis sebagaimana pandangan Rene Descartes yang bermaksud membultikn dahulu apayang dapat diketahui sebagai sungguh nyata atau benar benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pandekatan ini adalah apabila orang sedah masuk skeptisisme dan onsistendengan sikapnya, maka tak mudah menemukan jalan keluar . skeptisime Des Cartes adalah sketisisme metodis yaitu: suatu strategi awal untuk meregukan segala sesuatu degnan maksud agar dapat sampai ke kebanaran yang tidak dapat diragukan lagi. Ia menolak argumen untuk membuktikan kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas (keagamaam) sebagaimana dilakukan pada abad Pertengahan.

Ketiga, epistemologi kritis yang berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat atau pun asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana ditemukan dalam kehidupan kemudian ditanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersbut. Sikap kritis diperlukan untuk lebih memahami sesuatu secara radikal lewat alasan-alasan yang jelas dan kuat.

Berdasarkan titik tolak pendekatannya dan berdasarkan objek yang dikaji, epistemologi juga dapat dibagi menjadi dua yaitu epistemologi individual dan epistemologi sosial. Epistemologi individual berangkat dan didasarkan atas kegiatan manusia individual sebagai subjek penahu terlepas dari konteks sosialnya, baik tentang pengetahuan status kognitifnya maupun proses pemerolehannya. Epistemologi evolusioner (evolutionary epistemology) atau kadang juga disebut epistemologi alami (natural epistemologi) termasuk jenis epistemologi individual. Sedangakan epistemologi sosial adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sbagai batas sosiolagis. Bagi epistetmologi sosial, hubungan sosial, kepantingan sosisl dan lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan.[9]

Epistemologi sangat penting untuk dipelajari karena alasan yang mendasar dari pertimbangan srategis, pertimbangan kebudayaan dan pertimbangan pendidikan. Ketiganya berpangkal pada pentingnya pengetahuan pada kehidupan manusia. Berdasarkan pertimbangan srategis, epistemplogi perlu karena pengetahuan sendir merupakan hal yang sacara srategis perlu bagi perkembangna manusia berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengtahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Dari segi petimbangan kebudayaan menpelajari epistemologi diperlukan untu mengungkap pandangan epestimologis yang seharusnya ada dan terkandung dlam setiap kebudayaan. Sedangkan berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan secara faktual.

AKSIOLOGI.

Aksiologi dalam fisafat ilmu berarti menyajikan hubungan antra etika dan ilmu, dimana etika sangat terkait hubungannya (inhaerent) dengan ilmu. Persoalan aksiologi adalah seputar bebas nilai atau tidaknya ilmu, hal ini merupakan persoalan yang rumit, tak mungkin dijawab dengan sekedar ya atau tidak. Mereka yang berfaham ilmu itu bebeasnilai menggunakan pertimbangan yang yang didasarkan asat nilai diri yang diwakili oleh ilmu yang bersangkutan.[10]

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki ilmu pengetahuan, pada umunya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Sedangkan etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah perdikat-orediakt nilai “betul” (right), “salah”(wrong) dalam arti “susila”(moral) dan “tidak susila” (immoral). Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuanyang bersangkutan dengan masalah masalah nilai yangkhusus seperti, ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan spistemologi. Epistemologi berkaitan dengan masalah kebenaran etika bersangkutan dengan masalah kabaikan (kesusilaan), dan estetika berkaitan dengan masalah keindahan. Aksiologi juga menyelidiki berbagai pernyataan-pernyataan tentang etika dan estetika. Ilmu yang bersangkutan dengan hal terebut adalah fisafat nilai.

Pendekatan-Pendektan dalam Aksiologi.

Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijwab dengan tiga macam cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalamannya. Hal ini dapat dinamakan dengan “subjektivitas”. Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalkui akal. Pendirian ini juga dinamakan sebagai “objektivitas logis”. Ketiga, nilai-nilai merupakn unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Hal itu disebut sebagai “objektifvisme metafisik”.[11]

Nilai Merupakan Kualitas Empiris yang Tidakdapat Didefinisikan.

Kualitas empiris ialah kualita yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Contoh dar hal itu adalah pengertian “baik” dan “kuning”, kedua-duanya merupakan pengertian-pengetian yang bersahaja, dengan cara apa pun tidak akan dapat menerangkan warna kuning dan baik kepada seserang yang belum mengelnal warna tersebut. Nilai dapat dijelaskan dari sisi kualitas objek atau perbuatan tertentu. Artinya pemahaman terhadap nilai bisa dipahami lewat verifikasi melalui pengalaman.

Nilai Sebagai Objek Suatu Kepentingan.

Hal tersebut dapat dipahami karena setiap nilai merupakan suat sikap tertentu dari manusia. Menurut perry setiap objek yang ada dalam kenyataan maupun dalam pikiran, setiap perbuatn ynag dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika pada sustu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan. Jika seseorang mempunyai kepentingan pada suatu apa pun, maka hal tersebut mempunyai nilai.[12] Berkaitan dengan nilai sebagai objek sebagai kepentingan, tersdia tiga macam kemungkinan: pertama, sikap setuju atau menentang tersebut samasekali tidak bersangkut paut dengan masalah nilai. Keua, sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki. Ketiga, sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai.

Teori Pragmatis Mengenai Nilai.

Selain teori nilai diatas ada teori lain mengenai nilai yaitu, teori pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan juga hasil-hasil.menurut Jhon Dewey, nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan, nilai bukanlah suatu kata benda atau bahkan juga bukan kata sifat. Masalah nilai sesungguhnya berpusat disekitar memberi nilai. Bagi Dewey antara sarana dan tujuan tak terpisahkan karena keduanya merupakan perangkat nilai yang evektif. Pemberian nilai, seperti halnya semua proses akali bermula hanya apabila orang menghadapi sesuatu masalah, artinya bermula pada sesuatu keadaan yang didalamnya terdapat ketegangan dan tiadanya ketertiban.maka penilaian yang dilakukannya bersifat dinamisserta relaitf terhadap situasi yang kongkret, penilaian tersebut dapat berubah sejalan dengan perubahan kondisi. Menurut Dewey, setiap situasi menciptakan nilai-nilai, nilai setiap menciptakan nilai-nilai setip nilai tidak ada yang abadi yang ada hanyalah nilai-nilai yang berubah-ubah.[13]

Nilai Sebagai Esensi.

Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenytaan namun tidaklah ber eksistensi. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi yang terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada salam kenyataan. Nilai-nilai dapat dikatakan mendasari barang sesuatu dan bersifat tetap. Contoh, nilai perdamaian, didalamnya itu sendiri terdapat nilai yang mendasarinya. Nilia-nilai dipahami secara langsung melalui “indera nilai”. Pengetahuan mengenai nilai bersifat apriori dalam arti tidak tergantung pada pengalaman dalam arti kata yang biasa, nilai diketahui secara langsung baik orang dapat atau tidak menangkapnya.

Jawaban-jawaban Etika.

Etika sebagai ilmu pengetahuan dapa berarti penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangakan etika sebagai ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Paling tidak ada empat bentuk etika yaitu etika deskriptif, etika normatif, etika pragtis dan etika kefilsafatan. Etika deskriptif sekedar melukiskan predikat-predikat seta tangapan-tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan digunakan. Etika normatif bersangkutan dengan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas. Etika kefilsafatan mempertanyakan makna yang dikandung oleh intilah-istilah kesusilaan, yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusialaan. Sedangakan etika pragtis merupakan jawaban-jawaban pragtis, dinamis, dari perbuatan.[14]

Contoh dari tanggapan etika adalah etika teleologis, hedonis, etika kelas sosial, etika teologis dan etika relativistis. Suatu ajaran yang mendasarkan diri pada suatu tujuan terakhir dinamakan ajaran teleologis. Suatu teori yang memberi titik berat pada kenikmatan atau kebahagiaan dikatakan hedonistik. Hedonisme merupakan suatu teori yang mengtakan bahwa kenikmatan atau akibat akibat yang nikmat dalamdirinya sudah mengandung kebaikan. Etika kelas sosial sebagaimana menurut Karl Marx adalah etika yang didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat, ukuran-ukuran kesusilaan timbul dari kebutuhan sosial. Etika teologis mendasarkan prinsip-prinsip kesusilaan pada ajaran ketuhanan, ukuran-ukuran kebaikan tertinggi adalah wahyu atau petunjuk dari tuhan lewat ajaran-ajaran agama. Etika relativistis memberi kesangsian kepada nilai-nilai etika yang terkandung dalam ajaran etika terdahulu karena menurut etika ini terdapat kenisbian kesusilaan dan terdapat perbedaan –perbedaan yang sangat besar antara perangakat kesusilaan yang berlaku pada kelompok manusia yang satu dengan yang berlaku pada kelompok manusia lainnya.[15]

Etika Meurut Islam.

Kebenaran suatu ilmu pengetahua,menurut islam adalah sebanding dengan kemanfaatan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berman faat adalah apabila: 1.) mendekatkan pada kebenarn Allah dan bukan menjauhkan. 2.) Dapat membantu umat merealisakan tujuan-tujuannya. 3.) dapat memberikan pedoman bagi sesama manusia. 4.) dapat menyalesaikan persoalan umat. Dalam islam suatu hal mengandung kebenaran apabial ia mengandung manfaat dalam arti luas, juga sejauh mana sesui dengan tuntutan kearifan dan keadilan, bukan hanya korespondensi antara kenyataan denga fakta sebagaimana konsepsi dari rasionalis-positivistik. Realitas dan kebenaran manusia harus mencakup wilayah rohaidan jasmani sekaligus. Tentang baik, buruk, indah dan jelek (termasuk ilmu), semua berpaling pada sumber-sumber moral dan pengkajian estetik.[16] Menurut Soedjatmoko bahwa tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, cara-cara pengembangannya pengendalian lembali ilmu dan teknologi, yang baik dan yang batil dari ilmu dan teknologi, fundamendanpatoan tentangmakna dan moralitas itu berakar pada agama.[17]

PENUTUP.

Ontologi merupakan cabang filsafat yang menggeluti tata dan sruktus realitas dalam arti seluas mungkin. Epistemologi merupakan bagian dari filsafat yang menelaah hakikat, jangkauan, pengandaian dan pertanggungjawaban pengetahuan. Sedangakan aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki hakikat nilai, etika dan estetika ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.

DAFTAR PUSTAKA

Gie, The Liang, Pengantar Filsafat ilmu, Yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 2000.

Hadi, P. Hardono, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Kattsoff, Louis O., Pent. Soejono Soemarjono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.

Pranarka, Epistemologi Dasar, yogyakarta: Kanisius, 2006.

Ravertz, Jerome R., FIlsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Russell, Bertrand, Pent.Sigit dkk, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Sumantri, Jujun S. Surya, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Sumantri, Jujun S. Suria, Pent. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia, 1995.

Tafsir, Ahmad, filsafat Ilmu, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Zubair, Achmad Charris, Dimensi Etik dan Esketik Manusia Kajian Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Lesfi., 2002.



[1] Jerome R. Ravertz, FIlsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 hal. 85.

[2] The Liang Gie, Pengantar Filsafat ilmu, Yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 2000 hal. 134-136.

[3] Louis O. kattsoff, Pent. Soejono Soemarjono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996, hlm., 76.

[4] P. Hardono Hadi, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm., 35.

[5] Disariakan dari, Ahmad Tafsir, filsafat Ilmu, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006

[6] Louis Kattoff, Op. Cit.

[7]Bertrand Russell, Pent.Sigit dkk, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. hlm, 959.

8 Pranarka, Epistemologi Dasar, yogyakarta: Kanisius, 2006. hlm; 18-19

[9] Ibid, hlm. 21-23

[10] Jujun S. Suriasumantri, Pent. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia, 1995. hlm; 233

[11] Louis Kattosoff, Op.Cit, hlm. 331

[12] Ibid, hlm. 338

[13] Ibid, hlm. 342.

[14] Ibid, hlm 352-353.

[15] Ibid, 373.

[16] Jujun S. Surya Sumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapat, 2003, hlm. 92.

[17] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Esketik Manusia Kajian Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Lesfi., 2002. hlm. 142-143, 72-73.