Minggu, 18 Oktober 2009

Blog Entry Belajar dari Filsafat Timur!!

"Knowledge is Power"






2.a. Kontribusi Hinduisme di dalam memahami manusia?
Hinduisme memberikan sumbangan yang cukup besar di dalam memahami manusia. Di dalam hinduisme, badan atau tubuh adalah bagian dari diri manusia untuk mencapai keselamatan (salvation). Paham semacam ini mau melawan paham klasik yang melihat jiwa dan badan sebagai sesuatu yang terpisah di dalam diri manusia. Hinduisme dapat memberikan kontribusi pada proses memahami manusia secara lebih menyeluruh. Di dalam Hinduisme, manusia dilihat dengan dua sudut pandang, yakni secara vertikal dan secara horisontal. Secara vertikal, manusia terdiri dari tubuh (body) dan jiwa (soul). Secara horisontal, manusia dapat dilihat sebagai kesatuan dari tiga bagian, yakni elemen-elemen untuk mengetahui (elements of knowing), elemen-elemen untuk merasakan (elements of feeling), dan elemen-elemen untuk berkehendak (elements of willing). Kelima hal ini adalah inti dari seluruh hinduisme di dalam upayanya untuk memahami manusia. Kelima hal ini juga dapat dipahami sebagai Yoga, yakni sebagai sebuah jalan untuk bersatu dengan Tuhan (God). Artinya, manusia dapat bersatu dengan Tuhan, jika ia mampu dan mau mengasah kelima bagian di dalam dirinya tersebut.
Hinduisme juga memandang manusia sebagai mahluk yang pada hakekatnya memiliki kebebasan. Akan tetapi, kebebasan disini lebih dimengerti sebagai kebebasan spiritual (spiritual freedom). “Seperti layaknya kebebasan politis”, demikian tulis Sharma, “di mana orang tidak bisa seenaknya menerobos lampu merah sembarangan, kebebasan spiritual tidaklah berarti orang dapat secara buta mengabaikan norma-norma konvensional yang menjadi landasan dari kehidupan sosial.” Memang, norma-norma yang konvensional tersebut dapat berubah. Akan tetapi, fondasinya tetaplah ada. Dalam arti ini, Hinduisme sangat mirip dengan paham demokrasi di dalam politik. Jika keutamaan utama dari orang-orang yang hidup di dalam alam demokrasi adalah kebebasan untuk “mengayunkan tangan sesukanya selama itu tidak menyakiti hidung orang lain”, maka di dalam Hinduisme, setiap orang dapat memilih apa yang menjadi penghayatan religiusnya selama penghayatan tersebut tidak menyakiti orang lain. Di dalam pemerintahan demokratis, setiap orang dapat memilih wakilnya di parlemen. Di dalam Hinduisme, setiap orang dapat memilih “dewa”nya sendiri. Jika di dalam pemerintahan demokratis, setiap orang bisa menentukan sendiri apakah ia hendak memilih wakilnya atau tidak, maka di dalam Hinduisme, setiap orang bisa memilih sendiri apakah ia mau mempunyai Tuhan, atau tidak. Jelaslah bahwa di dalam Hinduisme, manusia dianggap sebagai mahluk yang secara esensial memiliki kebebasan.

b. Konfusianisme sebagai Humanisme?
Di dalam Konfusianisme, kita dapat menemukan suatu jenis humanisme tertentu. Memang, di dalam proses perkembangannya, paham humanisme sendiri memiliki banyak versi yang sangat tergantung dari konteks jaman, ataupun gaya berpikir seorang filsuf tertentu, termasuk juga di dalam tradisi berpikir Konfusianisme. Hal yang paling mendasar di dalam seluruh tradisi Konfusianisme adalah suatu upaya belajar terus menerus untuk menjadi manusia dalam arti sesungguhnya. Yang menjadi fokus dari Konfusianisme bukanlah konsep manusia dalam perbedaannya dengan alam (nature) ataupun Surga/Langit (Heaven), melainkan manusia dalam prosesnya untuk mencapai harmoni dengan alam dan Langit. Di dalam paradigma Konfusianisme, proses belajar untuk menjadi manusia yang sesungguhnya juga mencakup proses untuk menyadari keterkaitan seluruh alam semesta yang bermuara di dalam diri manusia, yakni relasi yang menyeluruh dan saling terkait antara keluarga, komunitas, bangsa, dunia, dan segala sesuatu yang melampaui dunia ini. Dengan kata lain, Konfusianisme mengajak kita untuk menyadari arti kemanusiaan sesungguhnya dalam konteks kepenuhan dan totalitasnya. Dengan adanya kesadaran tentang totalitas dan keterkaitan segala sesuatu ini, kita akan dapat semakin mengerti dan memahami diri kita sendiri, sehingga tubuh kita akan sehat, pikiran kita akan selalu waspada, jiwa dan hati kita akan menjadi murni, dan roh kita akan menjadi cemerlang. Inilah ‘latihan rohani’ ala Konfusianisme. Pengolahan diri semacam ini adalah tujuan pada dirinya sendiri, dan merupakan tujuan utama setiap orang yang menganut pandangan Konfusianisme.
“Karakteristik mendasar dari humanisme Konfusian”, demikian tulis Tu Wei-Ming, “adalah keyakinan pada aspek kreatif yang mendorong perubahan manusia sebagai suatu tindakan komunal dan sebagai tanggapan positif terhadap Langit,” Dua inti yang patut diperhatikan disini, bahwa manusia dapat mencapai kepenuhannya di dalam komunitasnya, dan bukan di dalam isolasi individualistiknya, serta manusia juga dapat mencapai kepenuhan, jika ia membangun relasi yang positif dan kreatif dengan Langit. Di samping itu, humanisme Konfusian juga sangat menekankan integrasi dari empat dimensi yang mempengaruhi diri manusia, yakni diri, komunitas, alam, dan Langit. Suatu upaya untuk mendalami humanisme Konfusian harus sungguh-sungguh memperhatikan keempat aspek tersebut, yakni diri (self) sebagai sumber dari perubahan yang kreatif dan dinamis bagi pengembangan manusia, komunitas (community) sebagai ruang yang memungkinkan aktualisasi diri manusia, alam (nature) sebagai penyedia sumber daya bagi semua bentuk kehidupan, dan Langit (heaven) sebagai sumber dari realisasi diri yang paling puncak. Inilah konsepsi humanisme Konfusian yang tidak memandang manusia sebagai subyek yang atomistik, rasional, otonom murni, melainkan manusia sebagai mahluk yang selalu sudah memiliki relasi menyeluruh dan total dengan komunitasnya, alam, dan dengan Langit.

c. Arti emptiness di dalam Budhisme?
Kekosongan (emptiness), atau Śūnyatā, adalah realitas tertinggi dan terakhir di dalam Budhisme. Untuk memahami apa arti kekosongan sesungguhnya, kita harus melepaskan diri dari konsep kekosongan yang seringkali muncul di kepala kita melalui konsep bahasa. Kekosongan disini adalah “realitas dunia di dalam intuisi yang terpisah dari bahasa; dengan demikian, ada emansipasi dari penderitaan yang disebabkan oleh keterikatan pada diskriminasi. Oleh karena itu, kekosongan bukan hanya merupakan konsep filosofis, tetapi juga merupakan konsep religius.”

“Sunyata”, demikian tulis C.C Chang, “adalah kombinasi dari kata kosong (empty) dan akhiran ness, sehingga menjadi kekosongan… dengan demikian, Śūnyatā mau menyatakan bahwa walaupun benda-benda di dalam dunia fenomena tampak nyata dan memiliki substansi tertentu, tetapi sebenarnya, benda-benda itu kosong di dalamnya. Benda-benda di dalam dunia fenomenal hanya tampaknya saja nyata, tetapi tidak nyata… Śūnyatā adalah kondisi di mana setiap konsep kedirian menjadi hilang.”
Masao Abe, seorang ahli mengenai Budhisme, berpendapat bahwa ada tiga hal yang bisa disimpulkan mengenai konsep kekosongan di dalam Budhisme. Pertama, kekosongan adalah konsep yang paling ultim di dalam Budhisme yang tidak dapat direifikasi ke dalam konsep-konsep buatan manusia. Dengan kekosongan ini, Budhisme mau melampaui semua dualitas yang ada pada manusia, seperti baik-buruk, jiwa-badan, dan sebagainya. Kedua, dengan demikian, seperti sudah ditekankan sebelumnya, realitas tertinggi di dalam Budhisme bukanlah Tuhan, Ada, ataupun Substansi, melainkan “kekosongan”, di mana orang bisa terbebas dari semua bentuk reifikasi konseptual. Ketiga, kekosongan sebagai realitas ultim di dalam Budhisme ini haruslah dikosongkan dari semua bentuk keterikatan terhadap ‘konsep kekosongan’. “Kekosongan yang sesungguhnya”, demikian tulis Abe, “bukanlah suatu keadaan yang bersifat statis..melainkan dinamis untuk mengosongkan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri.” Ketika seorang Budhis membicarakan tentang kekosongan, maka ketiga pengertian ini sudah selalu diandaikan.
Yang juga harus ditekankan adalah bahwa konsep kekosongan di dalam Budhisme sama sekali tidak bersifat nihilistik. Yang menjadi titik tolak utama dari konsep kekosongan di dalam Budhisme adalah penolakan terhadap diri (self) dan semua bentuk entitas yang memiliki substansi (substantiated entity). Dengan menolak atau menegasi kedua hal itu, maka realitas yang sesungguhnya akan tampak. Akan tetapi, negasi atau penolakan terhadap di dalam Budhisme bukalah semata-mata penolakan harafiah, karena jika begitu, maka Budhisme akan bersifat nihilistik. Negasi itu adalah realisasi dari apa yang disebut ‘awal yang tidak mengandaikan apapun lagi’ (pratitya-samutpáda) yang menampakkan diri melalui negasi atas diri dan entitas yang memiliki subtansi. Dengan kata lain, ‘awal yang tidak mengandaikan apapun lagi’ ini menampakkan diri melalui ‘kekosongan dari segala-galanya’ (the emptiness of everything). “Awal yang tidak mengandaikan apapun lagi”, demikian tertulis di Nagarjuna, “dapat kita sebut sebagai kekosongan… dan karena tidak ada dharma tanpa awal yang tidak mengandaikan apapun lagi, maka tidak ada dharma yang ada jika ia tidak kosong.” Dengan demikian, kekosongan dapat ditemukan, ketika segala sesuatu, terutama diri dan segala sesuatu yang memiliki substansi, sepenuhya dinegasi, dan disadari sebagai kekosongan.

Apakah ini bisa menjadi motivasi manusia untuk mengejar kesempurnaan hidup?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah ya. Di dalam Budhisme, kekosongan adalah kesempurnaan tertinggi yang dapat dicapai manusia, ketika manusia mampu menegasi secara total dirinya sendiri, dan juga telah menegasi segala sesuatu yang memiliki substansi. “Identitas antara kekosongan dengan awal yang tidak mengandaikan apapun lagi,” demikian tulis Masao Abe, “.. disadari secara penuh sebagai tujuan dari seluruh ajaran Budhisme.” Penjelasan untuk argumen ini sebenarnya cukup rumit. Begini, setiap orang Budha ingin mencapai kesempurnaan hidup, dan kesempurnaan hidup itu adalah Nirvana, di mana setiap bentuk samsara atau penderitaan telah dilampaui. Akan tetapi, untuk melepaskan diri dari penderitaan, orang harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari keinginan mencapai Nirvana, sekaligus dari samsara itu sendiri. Penekanan ‘penolakan terhadap Nirvana’ juga harus setara dengan penekanan pada ‘penolakan terhadap samsara’. Jika orang ingin mencapai Nirvana dengan berupaya melampaui samsara, maka ia masihlah terikat, yakni terikat pada Nirvana. Pada titik ini, orang tersebut masihlah egois, karena ia hanya memikirkan kepentingan dan kenikmatan dirinya sendiri. “Kekosongan diri yang sempurna”, demikian tulis Abe, “hanya dapat dicapai dengan cara melampaui Nirvana dan kembali serta bekerja di tengah penderitaan di dunia yang terus berubah”. Artinya, Nirvana di dalam Budhisme adalah suatu upaya manusia untuk menantang dan melawan penderitaan itu sendiri, yakni samsara. Oleh karena itu, di dalam Budhisme sering juga dikatakan bahwa “Samsara pada dirinya sendiri adalah Nirvana.” Dengan demikian, Nirvana adalah suatu kondisi kekosongan itu sendiri, di mana orang dapat bebas dari semua bentuk pikiran-pikiran yang terikat, dan mampu melihat segala sesuatu dalam keunikan dan perbedaannya tanpa ada rasa terikat sedikit pun. Nirvana juga adalah realisasi dari cinta yang universal, karena ia memikirkan keselamatan banyak orang dalam prosesnya menantang penderitaan tanpa terikat. Abe menulis bagus sekali tentang hal ini,

“Dengan demikian, Budhisme menekankan tidak memeluk samsara sehingga mampu sampai pada kebijaksanaan, dan tidak memeluk Nirvana sehingga orang dapat mencintai dengan penuh. Kebebasan dari samsara dan keinginan untuk mencapai Nirvana ini adalah Nirvana dalam arti yang sesungguhnya. Ini adalah makna sesungguhnya dari kekosongan”.

Jadi, jika ditanya, apakah kekosongan di dalam Budhisme ini layak mendorong manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka jawabannya adalah ya, karena di dalam kekosongan ini, manusia mencapai kebebasan dan kebahagiaan sepenuh-penuhnya, di mana ia tidak lagi terikat pada apapun atau siapapun di dunia ini. Dengan mencapai kekosongan, manusia bisa tetap berjuang melawan ketidakadilan dan penderitaan tanpa harus terikat pada perjuangan itu sendiri. Suatu versi kesempurnaan hidup ala Budhisme yang isinya patut sekali kita pertimbangkan dan refleksikan lebih jauh.

Daftar Pustaka
Sharma, Arvind, Our Religions, New York: HarperCollins, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar